Analisis Semiotik Pada Karya Sastra Kelas | Tentang Selembut Angin, Setajam Ranting? | Menggunakan Semiotika Roland Barthes | IDSWEET STORY


Analisis Roland Barthes~ Sastra menurut saya adalah sebuah karya yang kompleks dan terstruktur. Karena dalam memahami sebuah sastra kita harus menganalisisnya terlebih dahulu. Jika kita hanya membaca saja, kita hanya akan mendapatkan pesan, saran maupun kritikan yang ada didalamnya. Namun untuk bisa memahaminya kita perlu menganalisis terlebih dahulu, itulah yang saya maksud dengan sastra.

ANALISIS :

Analisis Semiotika pada Roland Barthes ini meliputi:

1.      Kode Hermeunetik

2.      Kode Semantik (Kode konotatif)

3.      Kode Simbolik

4.      Kode Proaretik (Kode Tindakan/aksi)

5.      Kode Genomik (Kode Kultural/referensial).

 

Adapun cerpennya sebagai berikut:

 <script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

<ins class="adsbygoogle"

     style="display:block; text-align:center;"

     data-ad-layout="in-article"

     data-ad-format="fluid"

     data-ad-client="ca-pub-7265509654200579"

     data-ad-slot="2892691458"></ins>

<script>

     (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

</script>

Selembut Angin Setajam Ranting

KAU tak pernah menyesal bercinta dengan istri orang?"

Agus menggeleng. Tersenyum. Bagai Don Quixot ia menenggak minuman yang nyaris kemarau itu. Aroma alkohol benar-benar menyengat.

"Kau tak takut ketahuan suaminya?"

 

Agus menggeleng lagi. Ia malah menyalakan korek api tinggi-tinggi. Seorang perempuan, Anti yang berparas sensual, mendekatnya. Mencium pipi Agus. Lelaki yang ada di depanku menyambut ciuman Anti dengan bangga. Aku keki.

 

Aku tendang kaki Agus dengan kaki kiriku. Ia pikir dengan cara begitu ia bisa membuat emosiku naik, lalu ikut seperti dia.

Terus terang, aku berada di ruang pengap ini tak sengaja. Pulang kantor tadi, aku bertemu Agus. Dia mendekatiku. Aku memang suntuk, letih, bahkan wajahku kuyu karena tiga hari ini memang aku selalu lembur. Koran tempatku bekerja banyak order iklan warna. Karena di kota B ini belum ada percetakan berwarna terpaksa dikirim ke J. Itu sebabnya, halaman yang kebagian jatah iklan warna harus dikirim sehari sebelum beredar. Dan, kebetulan aku yang diberi tanggung jawab.

Aku tak bisa mengelak ketika Agus mengajakku ke tempat hiburan diskotek ini. Dia merayu dengan mengatakan untuk menghilangkan kejenuhan, diperlukan waktu santai. Santai yang paling bagus menikmati musik dan memandang perempuan-perempuan cantik. "Itu hanya di diskotek. Bukan di swalayan atau di supermarket!" kata Agus sambil tertawa. Aku tersenyum. Bimbang. Aku sudah kadung janji pada istriku akan membawakan martabak Bangka. Dia pasti amat menanti makanan kesukaannya itu. "Ayolah, sekali-kali pulang terlambat. Istrimu tak akan marah..." "Tapi, aku sudah janji akan membelikan martabak Bangka buat istriku..." "Ah, bilang saja tidak jual atau sudah tutup. Kau jangan mau jadi suami DKI."

"Apa itu DKI, aku tak mengerti," potongku. Aku tersinggung, meski aku sendiri tak tahu maksud DKI yang dikatakan Agus. "Itu lo, suami Di bawah Ketiak Istri!" Agus kembali tertawa. Kali ini benar-benar lepas. Aku cuma tersenyum. Pahit. Kesal. Dan, sesungguhnya dalam hati aku marah. Tetapi, aku tahan. Agus adalah sahabatku sejak kuliah. Ia kini pengusaha. Ketua organisasi para bisnisman di kotaku. Tentu soal uang, ia tak pernah kehabisan. Teman-temannya pun pejabat, anggota legislatif, aktivis politik, dan para preman. Aku tak bisa menolak manakala ia membukakan pintu mobilnya. Aku masuk setelah menitipkan motorku dengan satpam kantor. "Tapi, jangan lebih jam dua ya!" harapku. Agus mengangguk. Aku pikir ini hanya sekali saja pulang terlambat. Lagi pula, aku ke luar kantor sudah pukul 11.30. Masak iya, baru masuk diskotek sudah minta pulang. Agus masih seperti di kampus. Don Quixot. Banyak kekasih. Bahkan, gonta-ganti. Aku pernah melihatnya, beberpaa jam di kampus bisa tiga kali menggandeng cewek. Sialnya, tak satu pun cewek-cewek itu berkelahi karena dia. Pandai sekali dia menyembunyikan kecurangannya! Dina, kembang kampus, kemudian dipilihnya menjadi istrinya. Kini ia telah dikaruniai dua anak: perempuan dan lelaki. Menurut cerita Agus, anak tertuanya kini sudah kelas dua SMU, sedang yang bungsu kelas tiga SLTP. "Kau tak pernah risau dengan anakmu yang sudah remaja. Kapan kau akan berubah?" kataku di dalam mobil tadi. "Anakku kan tahunya kalau aku sibuk mengurusi bisnisku. Lagipula, mereka tahunya aku pulang bawa uang. Ongkos ke sekolah tidak seret, dan kebutuhannya selalu kupenuhi. Itu saja..." "Istrimu?" "Sebelum kami menikah pun, dia sudah tahu kelakuanku. Jadi, tak ada masalah," jawab Agus santai. Tampak sekali ia mengucapkan itu dengan bangga. Tak ada masalah? Bagaimana mungkin seorang istri rela dan pasrah padahal ia tahu suaminya bersenang-senang di tempat hiburan. Istri mana pun akan terpukul begitu tahu suaminya bercinta dengan perempuan lain. Jelas, bagi istri yang normal, akan menjadi masalah jika tahu suaminya sering bersenang-senang di diskotek. Karena itu, aku tak percaya kalau tak ada masah. Hanya saja, Dina yang kutahu sejak kuliah selalu ingin menghindari pertengkaran. Dengan siapa pun. Itu sebabnya, ia disenangi banyak teman perempuan dan pria. Tapi, itu bukan kepasrahan. Bukan pula karena Dina takut pada Agus. "Ayo minum, jangan kau pandangi saja. Sudahlah, Is, sekali-kali kau berontak pada nuranimu. Hidup itu jangan monoton, misalnya alim terus. Sekali-kalilah keluar dari aturan dan norma. Maka kau akan banyak mengetahui persoalan hidup," Agus berbisik. Aku mencium aroma alkohol dari mulutnya. "Kau memang gila!" aku mendesis. "Is, kau tahu, angin saja tak selalu meniup dengan lembut. Ia bisa berubah sebagai topan, angin puyuh, atau pun bahorok. Nah, kenapa kita tidak seperti itu," katanya lagi. "Kita tak akan pernah tahu perasaan seorang penjahat, kalau kita tidak menjadi penjahat. Kita tak tahu bagaimana rasanya mabuk, kalau kita sendiri tak pernah minum alkohol. Kita juga tak bisa merasakan menjadi suami yang baik, kalau kita selalu menurut dan tak pernah selingkuh." "Hidup ini bukan mesin percobaan, sobat! Rumah tangga juga bukan arena akrobatik dan meja permainan. Hidup adalah amanah dan kita wajib menjaganya. Rumah tangga adalah sunnah, maka bagi kita yang bisa menata dan menghidupinya sama artinya kita telah menjadi pengikut Rasulullah!" jawabku tak mau kalah. "Ah teori...." kata Agus. Ringan. "Sudahlah, kita lupakan perdebatan ini. Toh kita datang ke sini ingin hiburan?" kali ini kulihat Agus seperti hendak mengoreksi pendapatnya. Jam 02.00. "Gus, sudah waktunya aku harus pulang," kataku kemudian, mengingatkan.

"Kasihan istriku, pasti dia was-was menungguku pulang..." "Kau bahagia punya istri yang setia menunggumu pulang. Aku iri padmu, sobat!" "Apa maksudmu, Gus?" aku bertanya. Sungguh aku tak mengerti maksud kenapa ia mengucapkan kata-kata itu. "Bukankah kau sendiri juga bahagia? Punya Dina yang selalu tak punya masalah?" "Justru itu masalah! Karena ia tak pernah memasalahkan apakah aku pulang cepat ataukah pagi, justru itu jadi soal buatku. Jangan-jangan istriku tak punya kekhawatiran terhadapku. Jangan-jangan ia tak setia, tak..." Agus berhenti. "Oke kita pulang, perasaanku tiba-tiba tak enak. Aku ingin memarahi Dina kemudian ia menentangku, lalu kami bertengkar, ribut... Aku ingin sekali-kali ada kegaduhan di rumahku, ada yang menentangku. Dina harus menanyaiku kenapa sering pulang larut malam, mendampratku, bahkan aku ingin sekali ia melempar benda ke tubuhku. Rumah tangga yang adem-ayem saja perlu diragukan keharmonisannya. Istri yang diam meski membukakan pintu bagi suaminya yang pulang larut malam, perlu dipertanyakan kasihsayangnya." "Aku setuju itu, Gus! Aku ingin kalian cakar-cakaran, seperti aku dengan istriku. Setelah itu baikan, bercintaan, dan pasti kalian akan harmonis. Dalam hidup ini, kita tak hanya merindukan lembutnya angin. Tetapi, kita harus pula menikmati tajamnya ranting. Itu baru hidup!" ucapku. Aku menggamit tangan Agus yang agak sempoyongan. "Ke mana, kok cepet sekali?" Anti menyongsong tiba-tiba, membuatku terusik. "Anterin aku dulu dong. Iya sayang??" pintanya pada Agus. "Sorry. Aku harus buru-buru, enggak punya waktu. Maaf." "Apa? Kau gila apa, Gus? Kau tinggalkan aku di sini sendirian? Aku ke sini karena kau mengajakku. Tidak bisa, kau harus mengantarku pulang dulu. Setelah itu kau boleh ke mana kau suka!" Anti mengancam. Suaranya agak keras. Agus menatap wajah wanita cantik itu. "Maaf sayang, aku ada keperluan lain. Amat mendesak..." "Tidak bisa!! Atau..." Anti memecahkan botol. Ia mengancam Agus dengan botol yang sudah belah dua dan tentu tajam itu. "Aku tak segan-segan melukaimu, kalau kau nekat keluar dari ruangan ini sendirian!" "Persetan!" bentak Agus. "Aku tak takut ancamanmu. Pergi kau perempuan sundal, kau tak pantas menjadi istri." "Kau juga! Aku yang istri orang saja, masih mau. Kau yang setan!" Anti tak mau kalah. Ia kalap. Botol itu ia tancapkan ke tubuh Agus. Untung aku awas, segera kudorong tubuh sahabatku. Tapi tak ayal, pecahan botol itu menggores punggungku. Lebih perih rasanya daripada tergores tajamnya ranting. Istriku pasti menanyakan ihwal lukaku, lalu kuceritakan. Pada akhirnya, istriku tahu kalau aku ke diskotek. Aku rindu bertengkar dengan istri.

Lampung, Februari 2002.

Referensi:

http://isbedystiawanzs.blogspot.com/2008/11/kumcer-selembut-angin-setajam-ranting.html?m=1, diakses pada 22 April 2020, pada pukul 13:29 WIB.

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

<ins class="adsbygoogle"

     style="display:block; text-align:center;"

     data-ad-layout="in-article"

     data-ad-format="fluid"

     data-ad-client="ca-pub-7265509654200579"

     data-ad-slot="2892691458"></ins>

<script>

     (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

</script>

Analisis Cerpen “Selembut Angin, Setajam Ranting” dengan Semiotika Roland Barthes:

 

Kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara Bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pernyataan-respons, yang didalam prosesnya jawaban atau kesimpulan (cerita) ditangguhkan atau mengalami penundaan sehingga menimbulkan semacam enigma atau teka-teki, hal semancam itu termasuk kode hermeneutik. Pada cerpen ini berjudul “Selembut angin setajam ranting”. Dari judulnya saja orang pasti akan bertanya-tanya, maksudnya itu apa?. Sehingga jika ingin memahami arti dari judul ini, harus membaca isinya terlebih dahulu. Maka dengan itu akan kita ketahui maksud dari judul ini. (hermeneutik [Selembut Angin, Setajam Ranting]).

 

KAU tak pernah menyesal bercinta dengan istri orang?"

Agus menggeleng. Tersenyum. Bagai Don Quixot ia menenggak minuman yang nyaris kemarau itu. Aroma alkohol benar-benar menyengat.

"Kau tak takut ketahuan suaminya?"

Agus menggeleng lagi. Ia malah menyalakan korek api tinggi-tinggi. Seorang perempuan, Anti yang berparas sensual, mendekatnya. Mencium pipi Agus. Lelaki yang ada di depanku menyambut ciuman Anti dengan bangga. Aku keki.

Pada kalimat di atas jelas bahwa dalam menilai seseorang biasanya dari sifatnya, baik secara fisik maupun psikis. Nah, pada percakapan diatas tergambar bahwa Ketika Agus ditanya tentang penyesalannya bercinta dengan istri orang, dia dengan mudahnya menggelengkan kepala, atau sebuah symbol bahwa tidak ada penyesalan yang dilakukannya. Hal itu dilakukan dua kali, bahwa dia juga tidak takut ketahuan suami perempuan yang sudah berstatus keluarga itu. Seperti yang kita tahu, dalam agama kita mengenal pelarangan merebut hak orang lain, toh di Indonesia pun demikian, ada larangan adanya perselingkuhan. Hal itu termasuk sebuah kontra dengan aturan yang ada di Agama maupun Negara. (Kode Aksi [Pembangkang]).

 

Terus terang, aku berada di ruang pengap ini tak sengaja. Pulang kantor tadi, aku bertemu Agus. Dia mendekatiku. Aku memang suntuk, letih, bahkan wajahku kuyu karena tiga hari ini memang aku selalu lembur. Koran tempatku bekerja banyak order iklan warna. Karena di kota B ini belum ada percetakan berwarna terpaksa dikirim ke J. Itu sebabnya, halaman yang kebagian jatah iklan warna harus dikirim sehari sebelum beredar. Dan, kebetulan aku yang diberi tanggung jawab.

Tak sengaja merupakan sebuah kata yang memberi arti keterpaksaan, hal itu dapat diperkuat pada kalimat Aku memang suntuk, letih, bahkan wajahku kuyu karena tiga hari ini memang aku selalu lembur, Jelas pada kalimat tersebut di menggambarkan apa yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu bekerja keras. Sehingga dapat diketahui dia mengikuti Agus karena terpaksa, karena ajakan. (Kode Aksi [Keterpaksaan]).

 

Aku tak bisa mengelak ketika Agus mengajakku ke tempat hiburan diskotek ini. Dia merayu dengan mengatakan untuk menghilangkan kejenuhan, diperlukan waktu santai. Santai yang paling bagus menikmati musik dan memandang perempuan-perempuan cantik. "Itu hanya di diskotek. Bukan di swalayan atau di supermarket!" kata Agus sambil tertawa. Aku tersenyum. Bimbang. Aku sudah kadung janji pada istriku akan membawakan martabak Bangka. Dia pasti amat menanti makanan kesukaannya itu. "Ayolah, sekali-kali pulang terlambat. Istrimu tak akan marah..." "Tapi, aku sudah janji akan membelikan martabak Bangka buat istriku..." "Ah, bilang saja tidak jual atau sudah tutup. Kau jangan mau jadi suami DKI."

Penggunaan kata untuk mengilangkan kejenuhan pada leksia diatas merupakan symbol dari ajakan atau sebuah persuasi. Sehingga siapapun pasti akan terlena dan mengikuti yang mengajak. Karena situasi yang sesuai dengan yang dirasakan, yaitu kecapekan karena lembur pekerjaan selama 3 hari berturut-turut. Sehingga mudah memancingnya untuk mengikuti Agus. (Kode Simbolik [Persuasi])

Aku sudah kadung janji kata itu menggambarkan perasaan bingung. Janji itu harus ditepati, kata itu sering kita dengar bukan, seseorang pada posisi diatas pastinya akan merasa kebingungan. Bukan tanpa sebab, bingung diatas karena dia harus memilih ingkar janji kepada istri atau mengikuti kemauan temannya itu. (Kode Aksi [Kebingungan]).

"Apa itu DKI, aku tak mengerti," potongku. Aku tersinggung, meski aku sendiri tak tahu maksud DKI yang dikatakan Agus. "Itu lo, suami Di bawah Ketiak Istri!" Agus kembali tertawa. Kali ini benar-benar lepas. Aku cuma tersenyum.

Kata lepas mengindikasikan sesuatu yang berpindah dari keadaan semula. Namun pada leksia diatas dikontraskan dengan kata terbahak-bahak. Di satu sisi lepas merupakan sesuatu yang melambangkan kesedihan, seperti kucingku lepas. Namun disisi lain bisa berarti kesenangan, seperti leksia diatas. Karena sangking senangnya mengejek dia tertawa lepas. (Kode Semantik [senang]).

Tetapi, aku tahan. Agus adalah sahabatku sejak kuliah. Ia kini pengusaha. Ketua organisasi para bisnisman di kotaku. Tentu soal uang, ia tak pernah kehabisan. Teman-temannya pun pejabat, anggota legislatif, aktivis politik, dan para preman. Aku tak bisa menolak manakala ia membukakan pintu mobilnya.

Leksia tersebut merupakan semacam kritikan tentang buruknya pandangan masyarakat. Tidak sedikit orang yang semena-mena jika dia mempunyai uang banyak. Seringkali segala sesuatu yang dia inginkan harus terwujud, bagaimana pun caranya. Dan biasanya akan bisa dia dapatkan Ketika dengan menggelontorkan uangnya. (Kode Referensi [buruknya pandangan]).

 

Selain hal-hal yang ada diatas, kita dapat mengetahui kode semantic dengan melihat hal-hal yang berkaitan dengan suasana, baik itu psikologi tokoh, atmosfer maupun tempat atau objek tertentu. Kode semantik adalah kode yang berada pada suatu  kawasan penanda, yakni penanda khusus yang memiliki konotasi, atau penanda materialnya sendiri tanpa rantai penandaan pada ideologis, karena sudah menawarkan konotasi. Biasanya sebagai penanda pada dunia konotasi yang didalamnya terdapat kesan atau nilai rasa tertentu. Atau dengan kata lain kode semantic adalah sebuah tanda-tanda yang ditata sehingga memunculkan sebuah konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukaran, dan loyalitas.


<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

<ins class="adsbygoogle"

     style="display:block; text-align:center;"

     data-ad-layout="in-article"

     data-ad-format="fluid"

     data-ad-client="ca-pub-7265509654200579"

     data-ad-slot="2892691458"></ins>

<script>

     (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

</script>

0/Post a Comment/Comments

Berkomentarlah dengan Bijak!

Previous Post Next Post